Selasa, 10 April 2012

Coretan Pendek : Kutunggu Engkau di sudut senyummu

Ku Tunggu Engkau di sudut senyumMu
Aku bahagia.. dan aku bahagia tak ingin rasanya hilang… Apa yang kurasa saat kini terasa puncak bahagia di kerjaan Fana-Nya. Sungguh bahagia, bagaimana tidak, aku dititipkan Tuhan seorang imam yang shaleh,baik,pekerja keras dan sayang terhadap keluarga. Dan Tuhan memberi tambahan reward dari sesosok suamiku yakni wajahnya yang tampan. Sungguh tak pernahku berharap terlalu muluk untuk memiliki suami berwajah tampan, hanya ingin suami yang shaleh dan sayang keluarga, itu saja sepertinya sudah cukup bagiku karena aku pun menyadari tak ada yang sesuatu istimewa pada diri ini. Cantik ya tidak juga hanya biasa-biasa saja hanya mampu berbakti pada suami sesuai apa yang ku mampu dan apa yang ku ketahui. Namun sungguh karena Rahmat-Nya lah sesosok tampan itu mampu menjadi pendampingku di sisa usiaku ini. Yaa.. karena suami yang tampan tak sedikit pula para akhwat diluar sana yang menggandrunginya, yang menurut kebanyakan orang itu sebuah sentilan cobaan dalam berumah tangga. Subhanallah karena suami yang saleh itu sayang terhadap keluarganya namun bagi suami para akhwat itu dijadikannya saudara, saudara untuk keluarganya, dan bukan dijadikannya sebuah cobaan. Karena suami percaya semakin banyak saudara semakin banyak kenikmatan Allah yang akan dianugrahkan-Nya. Dan memang karena keramahanya itu setiap orang yang dikenalnya dijadikannya saudara, dan memang tak sedikit saudarannya, hampir disetiap daerah bahkan pelosok daerah saudaranya itu ada. Karena memang pekerjaan suami yang selalu bepergian keluar kota membuatnnya bertemu dengan orang-orang baru.

                                                            ~ ~ ~

Singkat cerita…… Mungkin kebaikan suami yang begitu banyak tak dapat ku utarakan satupersatu. Kudapati kebaikan suami pada saat itu ketika aku sedang memasak di dapur. Karena ada saudara yang akan berkunjung ya setidaknya mengharuskan ku untuk membuat penganan yang sekiranya pantas untuk memuliakan tamu. Karena banyak sekali yang harus dikerjakan sampai-sampai aku pontang panting sendiri. Cucian menumpuk, penganan belum sempat terhidangkan masih berbauran di wajan penggorengan. Ternyata disudut pintu dapur suami memperhatikan pola tingkah laku ku yang sepertinya sangat ksusahan dengan pekerjaanku saat itu. Ketika aku berbalik kehadapnya ia menyunggingkan sebuah senyuman sungguh manisnya senyuman itu. Ia menghampiri ku dan menyodorkan sebuah bantuan.
            “ Bunda sepertinya sangat sibuk sekali, Ayah bantu ya…”
            “ Trimakasih ayah ”
Namun ada yang membuat saya heran, mengapa ia terus tersenyum. Aku merasa malu, dan ternyata,,,
            “ Bunda manis deh kalau lagi masak, semuanya tersa alami, sampai-sampai noda-noda hitam dan putih menghiasi pipi manis bunda tetep buat bunda cantik”
Aku tersenyum dan bergegas berkaca pada jendela dapur..dan ternyata noda masakan, tepung dan lain-lain telah menghiasi pipi ku ini. Aku malu..
            “ Ayah … mengapa baru bilang bunda jadi malu..”
            “ tak apa Bunda.. tetep cantik kok,,, ayah suka. Bunda rajin”
Percakapan demi percakapan berlangsung sampai makanan terhidang di meja makan. Suami membantu ku hingga selesai. Sampai-sampai mencuci piring ia lakukan.
Bak mendapati setumpuk emas. Berada di sampingnya cukuplah buatku bahagia. Hati ini sungguh senang terasa keluarga kecil bahagia.


                                                            ~ ~ ~

Malam menjelang, terdengar ketukan pintu yang mendegup-degup. Ternyata saudara ku telah tiba. Aku mempersilahkannya masuk dan langsung ke meja makan. Setelah makan Kami semua berbincang-bincang dan masih di tempat yang sama. Dengan ditemani hidangan penutup. Di sela perbincangan salah satu saudaraku berkata “ sungguh terasa nyaman rumahnya, tapi kapan yaa kesini lagi menimang saudara kecil” . aku langsung tersentak mendengarkan hal itu. Buah-buahan yang sedang kutelan masih terasa di tenggorokan kian menyiksa. Membuatku terselak. Sungguh malu bukan kepalang. Dan suami langsung menyodorkan ku satu gelas air putih.
Tak lama suami menjawab pertannyaan saudaraku itu,” Insyaallah ,kita bagaimana yang maha kuasa saja ya bunda”. Serentak langsung ku mengiyakannya. Sela saudaraku,” ayouh cepat punya anak,mungkin kebahagiaan kalian juga akan terasa semakin lengkap”. Dan lagi-lagi suami yang menjawabnya “ia Insyaallah”

Percakapan itu tak berlangsung lama, karena sudah larut malam. Saudaraku beranjak pulang. Suami langsung tidur. Namun setelah kejadian ini mataku tak ingin terpejam, merebahkan badanpun sulit terasa. Yang ada sebuah air mata yang saling berdesakan itu segera ingin membuncah. Sungguh sedih rasanya mendengar percakapan tadi. Hampir setahun bahtera ini ku jalani bersama suami, namun pelengkap rumah tangga belum saja hadir.
Posisi saya sebagai istri merasa bersalah, malu pada suami dan keluarga karena pelengkap itu belum saja hadir di tengah-tengah kami.
Bukan tanpa usaha, hampir setiap hari suami mengantarku untuk terapy. Puluhan dokter telah kami datangi, puluhan obat-obat herbal dari anjuran dokter sudah ku telan, pengobatan secara tradisional telah kujalani. Namun tak membuahkan hasil.

Subhanallah bahtera ini terasa bahagia kujalani, bahkan sedikit sekali rintangan yang telah kau berikan pada kami. Apakah ini salah satu cobaan yang kau kehendaki untuk kami? Namun adakah celah bagi kami untuk merasakan seperti bahtera yang telah dijalankan oleh orang-orang diluar sana?
Yarabbana tak ada yang tak mungkin bagimu, kau maha tahu atas segalanya. Ampuni hamba yaRabb yang telah husnudzan padamu, kau maha pengasih lagi maha penyayang. Mungkin belum saatnya kau berikan itu pada kami. Hamba yakin bahgia yang sesungguhnya hanya kau yang tahu dan masih kau simpan dengan erat.

Air mata bak lautan tak pernah kering , ku putuskan untuk sejenak berbaring di samping suami. Tak terasa ia bangun dari tidurnya, dan membangunkan ku.
” Bunda ayoh bangun, kita tahajud bersama”. Ku jawab ajakannya dengan rintihan dan langsung ku usap air mata. “ ia ayah, ayah duluan saja wudhunya, nanti bunda menyusul”. Sepertinya suami curiga padaku. Mataku yang merah bengkak dan suaraku yang terdengar lirih membuat suami cemas. “ Bunda udah nagis ya, kenapa? Bunda tidak apa-apa kan? kenapa gak cerita sama ayah ada permasalahan apa bunda?”. Ternyata ku tak mampu menyembunyikan semua itu, pertanyaannya kujawab dengan lirih dan tak terasa air mata mengiringi, “tidak ada apa-apa ayah,bunda baik-baik saja”. “ Bunda yang sabar ya, ayah tahu bunda pasti sedih dengan percakapan tadi,ayah mengerti kok bunda, sabar ya bunda, Niscaya Allah bersama orang-orang yang sabar. Sekarang kita shalat tahajud, minta kepada Allah agar segera diberikan seorang buah hati. Dan bunda jangan menangis lagi ya..” dengan nada menenangkan dan langsung ia usap air mata yang menggenangi pipiku. “insyallah ayah, makasih ya..maffin bunda ya yang belum bisa memberikan keturunan dikeluarga ini. Bunda tahu ayah juga pasti sedih dan menginginkan keturunan dari bunda. Tapi insyaallah kita serahkan semua pada-Nya karena ia maha tahu masa terindah itu”. Suami tersenyum dan memberikan sebuah senyum ketegaran bagi ku.” Mari kita tahajud bunda”

Kami tahajud, tak henti-hentinya di sela tahajud kami memohon pada-Nya agar  memberikan seorang buah hati untuk menemani kami , seseorang yang mampu memeluk kami di kala gundah, seseorang yang mampu memberikan semangat bagi kami dikala resah. yaRabb sesungguhnya kau maha segalanya kau maha tau apa yang terbaik untuk kami. Kami menunggu anugrahmu itu yaRabb , kini perkenankanlah kami untuk menjemput anugrahmu itu. Amin..amin yarabbalalamin…

                                                            ~ ~ ~

Esok pun menjelang, seperti biasa aku menyiapkan sarapan untuk suami. Sugguh aneh tak biasanya perut ini terasa sakit, sungguh tak tertahankan seperti ada yang mengoyak-ngoyak tubuh ini. Mungkin hanya penyakit perut biasa. Dan akupun membiarkanya. Akupun melanjutkan memasak dan membawa hidangan pagi ke meja makan, entah kaki ini sulit melangkah, berjalanpu tersa terbata-bata. Sakit di perut semakin mengoyakan tubuh ini. Suara dentuman kaca di lantai membuat suami terperanjat dari duduknya. Piring hidangan itu jatuh, karena aku tak kuasa menahan sakit di perutku. Subhanallah ada apa ini. Apa yang terjadi pada ku. Dengan cemas suami menghampiri “ Bunda ada apa, mengapa makanan berserakan dilantai, bunda tidak apa-apa?”. Serentak pertannyaan itu mengalir darinya. Ingin kujawab bahwa aku sakit namu takut mencemaskannya, aku tak ingin ia mencemaskanku. Cukuplah kesibukan di kantornya tak perlu ku tambahi lagi bebannya. “Bunda tidak apa-apa ayah,ayah jangan cemas ya, itu tadi bunda menabrak kursi jadinya piring itu terjatuh”. “yasudah lain kali hati-hati ya bunda”. Seraya ku mengiyakannya dengan di hantui kecemasan akan kondisiku saat kini.

Rasa sakit ini memang sudah kurasa sejak lima bulan yang lalu, namun ku biarkan  saja, karena ku beranggapan bahwa ini  hanya sakit biasa saja. Namun hingga detik ini sakit di perutku terasa lebih sakit dari sebelumnya. Entah itu penyakit apa akupun belum memeriksakannya ke dokter.
Sakit itu  terasa terus mengerogoti tubuh ini. Ku segerakan memeriksakannya ke dokter. Tanpa sepengetahuan suami aku pergi ke dokter.
Pemeriksaan demi pemeriksaan telah kujalani. Dokter belum bisa memastikan hasilnya karena hasil Lab belum keluar. Aku harus menunggu hingga esok.
Kulihat raut muka dokter yang tampak tersenyum terpaksa, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan namun takut membuatku kecewa dan sedih. Subhanallah semoga itu hanya prasangka ku saja.

Esok tiba. Ku terima sebuah surat pagi itu. Dan ternyata itu hasil Lab rumah sakit yang telah kutemui kemarin. Ku buka dengan jantung berdentum kencang. Keringat menetes di sekujur tubuh. Ku baca bait demi bait hingga sampai pada hasil Lab. Surat itu sekejap jatuh dari peraduan tangan ku. Surat itu membuat batinku lebih terkoyak melebihi sakit diperutku ini. Hasil Lab mengatakan bahwa aku mengidap penyakit kanker rahim stadium 3B. subhanallah yaRabb. Bertubu-tubi cobaan mendera pada hamba. Semula hamba meyakini bahagianya bahtera ini. Namun mengapa disaat bahagia itu menjelma. Kau torehkan sebuah luka dalam bahtera hamba. Sungguh inikah ujian-Mu ya-Rabb.
Tangis membuncah, meratapi pilu bukan jalan yang terbaik. Apa pun itu keadaannya aku harus tetap tegar, bukan tuk aku setidaknya untuk suami yang selalu membahagiakan ku itu. Tak boleh sedikitpun ku hapus senyum indahnya. Harus tetap tegar.

Segera aku menemui dokter. Aku masih merahasiakan penyakit ku ini pada suami. Ku temui dokter dengan kesendirian. Aku memeriksakan kembali penyakit ku ini pada dokter. Karena mungkin saja hasil Lab itu salah. Namun ternyata dokter berkata sama dengan hasil Lab itu. Mulai hari itu aku harus menjalani pengobatan demi pengobatan. Sampai tiba akhirnya dokter mengharuskan ku mengikuti kemoterphy. Subhanallah pabila kujalani kemoteraphy ini rambut ku akan habis. Maka suami akan bertanya-tanya akan keadaanku ini, aku tak ingin membuatnya cemas yaRab.

                                                ~ ~ ~

Hari demi hari ku lewati dengan rasa sakit yang mendera dalam rahimku. Ku tambahkan doa khususku dalam tahajud. Kupinta ridhanya, hidayahnya untuk ku. Tak ada yang bisa ku lakukan lagi untuk suami. Buah hati sepertinya tak bisa lagi ku beri, kebahagiann tak bisa lagi ku semaikan. Apa bakti ku pada suami jika sampai saat kini aku tak bisa memberinya sebuah senyum terindah di hidupnya.
Ku torehkan sebuah rasa pilu dalm kertas putih. Lembaran cerita hidup ini ku lukiskan di dalamnya. Tak tau pada siapa harus mencurahkan hati hanya mampu  kutorehkan dalam untaian kata. Kini hanya mampu ku berserah diri pada-Nya, niscaya ia maha tau yang terindah untuk ku.

Masih ku sembunyikan sakit ku ini. Sampai suatu ketika kanker ku ini harus menjalani kemo. Dan aku pun menyetujuinya. Ini salah satu jalan untuk memperpanjang masaku. Bagaimanapun aku tak boleh menyerah, aku harus tetap berusaha. Rambutku berjatuhan, sebisa mungkin menyembunyikan keadaanku ini pada suami.

                                                            ~ ~ ~

Saat itu kudapati suami sedang duduk di sebuah ruang Tv dengan buku di tangannya. Seraya ia memanggilku.”Bunda kemarilah, ayah ingin menunjukan sesuatu”
Kututupi rambut ini dengan jilbab ku, karena tak ingin sedikitpun ku merebut kebahagiaan suami. “ia ayah, ada ap?”
Dengan senyum penuh bahagia ia menyematkan sebuah cincin dijariku, subhanallah sampaikapan aku bisa melihat senyum bahagianya ini. Tak kuasa jika aku harus menggantinya dengan untaian air mata di pipinya. yaRabb beri aku masa untuk melihatnya tersenyum lebih lama.

“Bunda ini cincin  yang Bunda inginkan, sekarang ayah bisa membelikannya untuk bunda.”
“terimakasih ayah. Namun senyummu itu yang lebih ku kuinginkan.
“Bunda mengapa bicara seperti itu, bunda bisa kapan saja melihat senyum ayah, hemm terasa ada yang berbeda dengan bunda.”
“tak ada apa-apa kok ayah, bunda seneng lihat senyum ayah” serentak dalam hati, andai saja aku bisa melihat senyumnya lebih lama lagi, yarabb akankah ada masa itu bagi hamba untuk melihat lebih lama lagi senyum indahnya itu.
“trimakasih bunda, tapi kok sepertinya ada yang aneh dengan bunda, akhh semoga saja itu hanya perasaan ayah. Oh iya bunda tadi ayah membaca buku tentang nama-nama islami bagaimana kalu anak kita nanti di beri nama sama seperti anaknya Rasullah, bukankah itu bagus kan Bunda?”

Sungguh hati ini teriris mendengar hal itu. Air mata yang berdesakan di mata ku ingin sekali membuncah. ya Bagaimana bisa  aku memberinya sebuah senyum indah pabila masa ku tinggal menghitung hari. yaRabbana berilah hamba masa untuk melihat senyum bahagia pada suami hamba. Ingin hamba berbakti padanya. Ingin hamba berikan buah hati untuknya untuk temani senja kami. Semoga kau meridhai jeritan hati hamba ini.

“ Ia ayah ,Bunda bagaimana ayah saja pasti tiu yang terbaik juga. Bunda permisi dulu ya ayah”. Rasa sakit di perutku tersa memuncak.

Ku putuskan bergegas lari ke kamar, tak kusadari rambutku berjatuhan dilantai. Suami menemuiku yang terlihat aneh karena tak biasanya aku meninggalkan ia sebegitu cepatnya untuk hanya pergi ke kamar. Aku berbaring di
Suami memunguti rambut ku. ia meletakannya di meja dekat kasur kami.
“ Bunda ini rambut bunda bukan? Mengapa berjatuhan sebanyak ini, bahkan sepertinya semua rambut telah jatuh. Ada apa ini bunda apa yang bunda sembunyikan dari ayah?”

Subhanallah ingin kujawab bertubu-tubi pertanyaannya itu, namun tak kuasa tangis membuncah. Rasa sakit semakin memuncak. Sejenak ku ingin memejamkan mata untuk menahan rasa sakit yang mendera.  Dan saat itu aku tersadar telah berada di rumah sakit. Peralatan yang super lengkap berdiri tegap di ruangan itu dan menyertai tubuh ini.

“Alhamdullilah bunda sudah sadar, ayah membawa bunda kerumah sakit. Tadi bunda pingsan. Bunda mengapa bunda rahasiakan semua ini sama ayah. Hal seperti ini bukan untuk di rahasiakan bunda. Tapi untuk kita hadapi bersama.” Tetes demi tetes menghiasi pipinya.
Subhanallah tak sampai hati aku melihatnya menangis.
“Ayah, bunda minta maaf ya. Bunda memang salah telah merahasiakan semua ini. Bunda hanya tak ingin membuat ayah sedih. Bunda ingin di sisa hidup bunda ayah itu tersenyum. Bukannya bersedih. Ayah itu penyemangat bunda. Bunda tak ingin penyemangat bunda harus hilang karena tertelan kesedihan”
“subhanallah bunda, mafin ayah juga ya. Ayah tak bisa menjaga bunda, ayah bukan suami yang baik, sepatutnya ayah mengetahui sendiri keadaan bunda. Ayah menyesal. Maafin ayah bunda.

Serentak tangis membanjiri suasana. Keluarga demi keluarga berdatangan. Suasana berubah pilu. Tangis bercucuran di setiap pasang mata.

Oprasi harus segera dijalankan untuk mengangkat sel kangker, namun tak sedikitpun hati  mengiyakannya. Aku tak ingin melawan takdir-Nya. Bila masa itu ada pastilah ia kan berikan ku masa itu.
Semua orang mebujuku untuk melakukan operasi, namun hati dan tekad ini sudah bulat. Seluruh keluarga menghampiri. Mereka berdoa untuk ku. Tak terkecuali suami yang selalu berada di sampingku.

            “Ayah kalau bunda udah pergi jauh, jangan hapusya senyum ayah. Bunda akan selalu menunggu senyum ayah itu. Tadi bunda kira tak ada senyum terindah lagi selain senyum ibu. Ternyata senyum aya juga indah. Lebih dari indah untuk bunda.
Ayah, perut bunda sakit bunda udah gak kuat lagi buat menahan sakit ini. Bantu bunda ya ayah buat nutup kelopak mata bunda.”
            “Bunda jangan bebrbicara seperti itu. Bunda harus kuat.”
            “Ayah lihat malaikat-malikat kecil jemput bunda. Bunda seneng ayah, maafin bunda ya  ayah. Bunda gak bisa kasih ayah buah hati. Bunda ingin di saat kelopak mata ini tertutup ayah bahagia.”
Dengan terbata-bata ku rangkul tangan adik ku dan suamiku.
            “Ayah buat bunda bahagia ya, bunda pengen kalian berdua bersama. Untuk adik jaga suami kakak ya. Jangan hapus senyumnya. Buat ia tersenyum untuk kakak, kakak titip bahagia kakak ya. Ayah , buat bunda senyum ya, bunda yakin adik bisa beri ayah buah hati. Jangan bersedih lagi ya. Bunda mau tidur dulu ya ayah jaga adik ya ayah” dalam hati seraya berkata ‘Tuhan inikah akhir bahagia hambaMu. Kan ku tutup lembaran cerita dengan sebuah senyuman. Senyuman terindah dalam masa-masaku’.
            “subhanallah bunda. Tapi baiklah demi bunda apa pun itu  akan ayah lakukan. Bunda istirahat yang tenang ya. Mungkin ini juga jalan terbaik untu bunda. Karena ayah juga tak rela jikalau bunda terus-menerus merasa sakit. Selamat jalan bunda”


Sekejap mata pergi. Tak ada lagi nafas kehidupan. Tangis membuncah.
 Satu masa telah pergi. Satu masa kan menghampiri. Cerita baru kini menyapa. Siap menyongsong sebuah bahagia. Meski pilu masih terasa. Tetap yakin hati itu kan ada meski memamng wujudnya tak lagi menyapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar