Ku Tunggu Engkau di sudut senyumMu
Aku bahagia.. dan aku
bahagia tak ingin rasanya hilang… Apa yang kurasa saat kini terasa
puncak bahagia di kerjaan Fana-Nya. Sungguh bahagia, bagaimana tidak,
aku dititipkan Tuhan seorang imam yang shaleh,baik,pekerja keras dan
sayang terhadap keluarga. Dan Tuhan memberi tambahan reward dari sesosok
suamiku yakni wajahnya yang tampan. Sungguh tak pernahku berharap
terlalu muluk untuk memiliki suami berwajah tampan, hanya ingin suami
yang shaleh dan sayang keluarga, itu saja sepertinya sudah cukup bagiku
karena aku pun menyadari tak ada yang sesuatu istimewa pada diri ini.
Cantik ya tidak juga hanya biasa-biasa saja hanya mampu berbakti pada
suami sesuai apa yang ku mampu dan apa yang ku ketahui. Namun sungguh
karena Rahmat-Nya lah sesosok tampan itu mampu menjadi pendampingku di
sisa usiaku ini. Yaa.. karena suami yang tampan tak sedikit pula para
akhwat diluar sana yang menggandrunginya, yang menurut kebanyakan orang
itu sebuah sentilan cobaan dalam berumah tangga. Subhanallah karena
suami yang saleh itu sayang terhadap keluarganya namun bagi suami para
akhwat itu dijadikannya saudara, saudara untuk keluarganya, dan bukan
dijadikannya sebuah cobaan. Karena suami percaya semakin banyak saudara
semakin banyak kenikmatan Allah yang akan dianugrahkan-Nya. Dan memang
karena keramahanya itu setiap orang yang dikenalnya dijadikannya
saudara, dan memang tak sedikit saudarannya, hampir disetiap daerah
bahkan pelosok daerah saudaranya itu ada. Karena memang pekerjaan suami
yang selalu bepergian keluar kota membuatnnya bertemu dengan orang-orang
baru.
~ ~ ~
Singkat
cerita…… Mungkin kebaikan suami yang begitu banyak tak dapat ku
utarakan satupersatu. Kudapati kebaikan suami pada saat itu ketika aku
sedang memasak di dapur. Karena ada saudara yang akan berkunjung ya
setidaknya mengharuskan ku untuk membuat penganan yang sekiranya pantas
untuk memuliakan tamu. Karena banyak sekali yang harus dikerjakan
sampai-sampai aku pontang panting sendiri. Cucian menumpuk, penganan
belum sempat terhidangkan masih berbauran di wajan penggorengan.
Ternyata disudut pintu dapur suami memperhatikan pola tingkah laku ku
yang sepertinya sangat ksusahan dengan pekerjaanku saat itu. Ketika aku
berbalik kehadapnya ia menyunggingkan sebuah senyuman sungguh manisnya
senyuman itu. Ia menghampiri ku dan menyodorkan sebuah bantuan.
“ Bunda sepertinya sangat sibuk sekali, Ayah bantu ya…”
“ Trimakasih ayah ”
Namun ada yang membuat saya heran, mengapa ia terus tersenyum. Aku merasa malu, dan ternyata,,,
“ Bunda manis deh kalau lagi masak, semuanya tersa alami, sampai-sampai
noda-noda hitam dan putih menghiasi pipi manis bunda tetep buat bunda
cantik”
Aku tersenyum dan bergegas berkaca pada jendela dapur..dan
ternyata noda masakan, tepung dan lain-lain telah menghiasi pipi ku
ini. Aku malu..
“ Ayah … mengapa baru bilang bunda jadi malu..”
“ tak apa Bunda.. tetep cantik kok,,, ayah suka. Bunda rajin”
Percakapan
demi percakapan berlangsung sampai makanan terhidang di meja makan.
Suami membantu ku hingga selesai. Sampai-sampai mencuci piring ia
lakukan.
Bak mendapati setumpuk emas. Berada di sampingnya
cukuplah buatku bahagia. Hati ini sungguh senang terasa keluarga kecil
bahagia.
~ ~ ~
Malam
menjelang, terdengar ketukan pintu yang mendegup-degup. Ternyata
saudara ku telah tiba. Aku mempersilahkannya masuk dan langsung ke meja
makan. Setelah makan Kami semua berbincang-bincang dan masih di tempat
yang sama. Dengan ditemani hidangan penutup. Di sela perbincangan salah
satu saudaraku berkata “ sungguh terasa nyaman rumahnya, tapi kapan yaa
kesini lagi menimang saudara kecil” . aku langsung tersentak
mendengarkan hal itu. Buah-buahan yang sedang kutelan masih terasa di
tenggorokan kian menyiksa. Membuatku terselak. Sungguh malu bukan
kepalang. Dan suami langsung menyodorkan ku satu gelas air putih.
Tak
lama suami menjawab pertannyaan saudaraku itu,” Insyaallah ,kita
bagaimana yang maha kuasa saja ya bunda”. Serentak langsung ku
mengiyakannya. Sela saudaraku,” ayouh cepat punya anak,mungkin
kebahagiaan kalian juga akan terasa semakin lengkap”. Dan lagi-lagi
suami yang menjawabnya “ia Insyaallah”
Percakapan itu tak
berlangsung lama, karena sudah larut malam. Saudaraku beranjak pulang.
Suami langsung tidur. Namun setelah kejadian ini mataku tak ingin
terpejam, merebahkan badanpun sulit terasa. Yang ada sebuah air mata
yang saling berdesakan itu segera ingin membuncah. Sungguh sedih rasanya
mendengar percakapan tadi. Hampir setahun bahtera ini ku jalani bersama
suami, namun pelengkap rumah tangga belum saja hadir.
Posisi saya
sebagai istri merasa bersalah, malu pada suami dan keluarga karena
pelengkap itu belum saja hadir di tengah-tengah kami.
Bukan tanpa
usaha, hampir setiap hari suami mengantarku untuk terapy. Puluhan dokter
telah kami datangi, puluhan obat-obat herbal dari anjuran dokter sudah
ku telan, pengobatan secara tradisional telah kujalani. Namun tak
membuahkan hasil.
Subhanallah bahtera ini terasa bahagia
kujalani, bahkan sedikit sekali rintangan yang telah kau berikan pada
kami. Apakah ini salah satu cobaan yang kau kehendaki untuk kami? Namun
adakah celah bagi kami untuk merasakan seperti bahtera yang telah
dijalankan oleh orang-orang diluar sana?
Yarabbana tak ada yang
tak mungkin bagimu, kau maha tahu atas segalanya. Ampuni hamba yaRabb
yang telah husnudzan padamu, kau maha pengasih lagi maha penyayang.
Mungkin belum saatnya kau berikan itu pada kami. Hamba yakin bahgia yang
sesungguhnya hanya kau yang tahu dan masih kau simpan dengan erat.
Air
mata bak lautan tak pernah kering , ku putuskan untuk sejenak berbaring
di samping suami. Tak terasa ia bangun dari tidurnya, dan membangunkan
ku.
” Bunda ayoh bangun, kita tahajud bersama”. Ku jawab ajakannya
dengan rintihan dan langsung ku usap air mata. “ ia ayah, ayah duluan
saja wudhunya, nanti bunda menyusul”. Sepertinya suami curiga padaku.
Mataku yang merah bengkak dan suaraku yang terdengar lirih membuat suami
cemas. “ Bunda udah nagis ya, kenapa? Bunda tidak apa-apa kan? kenapa
gak cerita sama ayah ada permasalahan apa bunda?”. Ternyata ku tak mampu
menyembunyikan semua itu, pertanyaannya kujawab dengan lirih dan tak
terasa air mata mengiringi, “tidak ada apa-apa ayah,bunda baik-baik
saja”. “ Bunda yang sabar ya, ayah tahu bunda pasti sedih dengan
percakapan tadi,ayah mengerti kok bunda, sabar ya bunda, Niscaya Allah
bersama orang-orang yang sabar. Sekarang kita shalat tahajud, minta
kepada Allah agar segera diberikan seorang buah hati. Dan bunda jangan
menangis lagi ya..” dengan nada menenangkan dan langsung ia usap air
mata yang menggenangi pipiku. “insyallah ayah, makasih ya..maffin bunda
ya yang belum bisa memberikan keturunan dikeluarga ini. Bunda tahu ayah
juga pasti sedih dan menginginkan keturunan dari bunda. Tapi insyaallah
kita serahkan semua pada-Nya karena ia maha tahu masa terindah itu”.
Suami tersenyum dan memberikan sebuah senyum ketegaran bagi ku.” Mari
kita tahajud bunda”
Kami tahajud, tak henti-hentinya di
sela tahajud kami memohon pada-Nya agar memberikan seorang buah hati
untuk menemani kami , seseorang yang mampu memeluk kami di kala gundah,
seseorang yang mampu memberikan semangat bagi kami dikala resah. yaRabb
sesungguhnya kau maha segalanya kau maha tau apa yang terbaik untuk
kami. Kami menunggu anugrahmu itu yaRabb , kini perkenankanlah kami
untuk menjemput anugrahmu itu. Amin..amin yarabbalalamin…
~ ~ ~
Esok
pun menjelang, seperti biasa aku menyiapkan sarapan untuk suami. Sugguh
aneh tak biasanya perut ini terasa sakit, sungguh tak tertahankan
seperti ada yang mengoyak-ngoyak tubuh ini. Mungkin hanya penyakit perut
biasa. Dan akupun membiarkanya. Akupun melanjutkan memasak dan membawa
hidangan pagi ke meja makan, entah kaki ini sulit melangkah, berjalanpu
tersa terbata-bata. Sakit di perut semakin mengoyakan tubuh ini. Suara
dentuman kaca di lantai membuat suami terperanjat dari duduknya. Piring
hidangan itu jatuh, karena aku tak kuasa menahan sakit di perutku.
Subhanallah ada apa ini. Apa yang terjadi pada ku. Dengan cemas suami
menghampiri “ Bunda ada apa, mengapa makanan berserakan dilantai, bunda
tidak apa-apa?”. Serentak pertannyaan itu mengalir darinya. Ingin
kujawab bahwa aku sakit namu takut mencemaskannya, aku tak ingin ia
mencemaskanku. Cukuplah kesibukan di kantornya tak perlu ku tambahi lagi
bebannya. “Bunda tidak apa-apa ayah,ayah jangan cemas ya, itu tadi
bunda menabrak kursi jadinya piring itu terjatuh”. “yasudah lain kali
hati-hati ya bunda”. Seraya ku mengiyakannya dengan di hantui kecemasan
akan kondisiku saat kini.
Rasa sakit ini memang sudah
kurasa sejak lima bulan yang lalu, namun ku biarkan saja, karena ku
beranggapan bahwa ini hanya sakit biasa saja. Namun hingga detik ini
sakit di perutku terasa lebih sakit dari sebelumnya. Entah itu penyakit
apa akupun belum memeriksakannya ke dokter.
Sakit itu terasa
terus mengerogoti tubuh ini. Ku segerakan memeriksakannya ke dokter.
Tanpa sepengetahuan suami aku pergi ke dokter.
Pemeriksaan demi
pemeriksaan telah kujalani. Dokter belum bisa memastikan hasilnya karena
hasil Lab belum keluar. Aku harus menunggu hingga esok.
Kulihat
raut muka dokter yang tampak tersenyum terpaksa, seperti ada sesuatu
yang ingin ia katakan namun takut membuatku kecewa dan sedih.
Subhanallah semoga itu hanya prasangka ku saja.
Esok tiba.
Ku terima sebuah surat pagi itu. Dan ternyata itu hasil Lab rumah sakit
yang telah kutemui kemarin. Ku buka dengan jantung berdentum kencang.
Keringat menetes di sekujur tubuh. Ku baca bait demi bait hingga sampai
pada hasil Lab. Surat itu sekejap jatuh dari peraduan tangan ku. Surat
itu membuat batinku lebih terkoyak melebihi sakit diperutku ini. Hasil
Lab mengatakan bahwa aku mengidap penyakit kanker rahim stadium 3B.
subhanallah yaRabb. Bertubu-tubi cobaan mendera pada hamba. Semula hamba
meyakini bahagianya bahtera ini. Namun mengapa disaat bahagia itu
menjelma. Kau torehkan sebuah luka dalam bahtera hamba. Sungguh inikah
ujian-Mu ya-Rabb.
Tangis membuncah, meratapi pilu bukan jalan yang
terbaik. Apa pun itu keadaannya aku harus tetap tegar, bukan tuk aku
setidaknya untuk suami yang selalu membahagiakan ku itu. Tak boleh
sedikitpun ku hapus senyum indahnya. Harus tetap tegar.
Segera
aku menemui dokter. Aku masih merahasiakan penyakit ku ini pada suami.
Ku temui dokter dengan kesendirian. Aku memeriksakan kembali penyakit ku
ini pada dokter. Karena mungkin saja hasil Lab itu salah. Namun
ternyata dokter berkata sama dengan hasil Lab itu. Mulai hari itu aku
harus menjalani pengobatan demi pengobatan. Sampai tiba akhirnya dokter
mengharuskan ku mengikuti kemoterphy. Subhanallah pabila kujalani
kemoteraphy ini rambut ku akan habis. Maka suami akan bertanya-tanya
akan keadaanku ini, aku tak ingin membuatnya cemas yaRab.
~ ~ ~
Hari
demi hari ku lewati dengan rasa sakit yang mendera dalam rahimku. Ku
tambahkan doa khususku dalam tahajud. Kupinta ridhanya, hidayahnya untuk
ku. Tak ada yang bisa ku lakukan lagi untuk suami. Buah hati sepertinya
tak bisa lagi ku beri, kebahagiann tak bisa lagi ku semaikan. Apa bakti
ku pada suami jika sampai saat kini aku tak bisa memberinya sebuah
senyum terindah di hidupnya.
Ku torehkan sebuah rasa pilu dalm
kertas putih. Lembaran cerita hidup ini ku lukiskan di dalamnya. Tak tau
pada siapa harus mencurahkan hati hanya mampu kutorehkan dalam untaian
kata. Kini hanya mampu ku berserah diri pada-Nya, niscaya ia maha tau
yang terindah untuk ku.
Masih ku sembunyikan sakit ku ini.
Sampai suatu ketika kanker ku ini harus menjalani kemo. Dan aku pun
menyetujuinya. Ini salah satu jalan untuk memperpanjang masaku.
Bagaimanapun aku tak boleh menyerah, aku harus tetap berusaha. Rambutku
berjatuhan, sebisa mungkin menyembunyikan keadaanku ini pada suami.
~ ~ ~
Saat
itu kudapati suami sedang duduk di sebuah ruang Tv dengan buku di
tangannya. Seraya ia memanggilku.”Bunda kemarilah, ayah ingin menunjukan
sesuatu”
Kututupi rambut ini dengan jilbab ku, karena tak ingin sedikitpun ku merebut kebahagiaan suami. “ia ayah, ada ap?”
Dengan
senyum penuh bahagia ia menyematkan sebuah cincin dijariku, subhanallah
sampaikapan aku bisa melihat senyum bahagianya ini. Tak kuasa jika aku
harus menggantinya dengan untaian air mata di pipinya. yaRabb beri aku
masa untuk melihatnya tersenyum lebih lama.
“Bunda ini cincin yang Bunda inginkan, sekarang ayah bisa membelikannya untuk bunda.”
“terimakasih ayah. Namun senyummu itu yang lebih ku kuinginkan.
“Bunda mengapa bicara seperti itu, bunda bisa kapan saja melihat senyum ayah, hemm terasa ada yang berbeda dengan bunda.”
“tak
ada apa-apa kok ayah, bunda seneng lihat senyum ayah” serentak dalam
hati, andai saja aku bisa melihat senyumnya lebih lama lagi, yarabb
akankah ada masa itu bagi hamba untuk melihat lebih lama lagi senyum
indahnya itu.
“trimakasih bunda, tapi kok sepertinya ada yang aneh
dengan bunda, akhh semoga saja itu hanya perasaan ayah. Oh iya bunda
tadi ayah membaca buku tentang nama-nama islami bagaimana kalu anak kita
nanti di beri nama sama seperti anaknya Rasullah, bukankah itu bagus
kan Bunda?”
Sungguh hati ini teriris mendengar hal itu.
Air mata yang berdesakan di mata ku ingin sekali membuncah. ya Bagaimana
bisa aku memberinya sebuah senyum indah pabila masa ku tinggal
menghitung hari. yaRabbana berilah hamba masa untuk melihat senyum
bahagia pada suami hamba. Ingin hamba berbakti padanya. Ingin hamba
berikan buah hati untuknya untuk temani senja kami. Semoga kau meridhai
jeritan hati hamba ini.
“ Ia ayah ,Bunda bagaimana ayah
saja pasti tiu yang terbaik juga. Bunda permisi dulu ya ayah”. Rasa
sakit di perutku tersa memuncak.
Ku putuskan bergegas lari
ke kamar, tak kusadari rambutku berjatuhan dilantai. Suami menemuiku
yang terlihat aneh karena tak biasanya aku meninggalkan ia sebegitu
cepatnya untuk hanya pergi ke kamar. Aku berbaring di
Suami memunguti rambut ku. ia meletakannya di meja dekat kasur kami.
“
Bunda ini rambut bunda bukan? Mengapa berjatuhan sebanyak ini, bahkan
sepertinya semua rambut telah jatuh. Ada apa ini bunda apa yang bunda
sembunyikan dari ayah?”
Subhanallah ingin kujawab
bertubu-tubi pertanyaannya itu, namun tak kuasa tangis membuncah. Rasa
sakit semakin memuncak. Sejenak ku ingin memejamkan mata untuk menahan
rasa sakit yang mendera. Dan saat itu aku tersadar telah berada di
rumah sakit. Peralatan yang super lengkap berdiri tegap di ruangan itu
dan menyertai tubuh ini.
“Alhamdullilah bunda sudah sadar,
ayah membawa bunda kerumah sakit. Tadi bunda pingsan. Bunda mengapa
bunda rahasiakan semua ini sama ayah. Hal seperti ini bukan untuk di
rahasiakan bunda. Tapi untuk kita hadapi bersama.” Tetes demi tetes
menghiasi pipinya.
Subhanallah tak sampai hati aku melihatnya menangis.
“Ayah,
bunda minta maaf ya. Bunda memang salah telah merahasiakan semua ini.
Bunda hanya tak ingin membuat ayah sedih. Bunda ingin di sisa hidup
bunda ayah itu tersenyum. Bukannya bersedih. Ayah itu penyemangat bunda.
Bunda tak ingin penyemangat bunda harus hilang karena tertelan
kesedihan”
“subhanallah bunda, mafin ayah juga ya. Ayah tak bisa
menjaga bunda, ayah bukan suami yang baik, sepatutnya ayah mengetahui
sendiri keadaan bunda. Ayah menyesal. Maafin ayah bunda.
Serentak
tangis membanjiri suasana. Keluarga demi keluarga berdatangan. Suasana
berubah pilu. Tangis bercucuran di setiap pasang mata.
Oprasi
harus segera dijalankan untuk mengangkat sel kangker, namun tak
sedikitpun hati mengiyakannya. Aku tak ingin melawan takdir-Nya. Bila
masa itu ada pastilah ia kan berikan ku masa itu.
Semua orang
mebujuku untuk melakukan operasi, namun hati dan tekad ini sudah bulat.
Seluruh keluarga menghampiri. Mereka berdoa untuk ku. Tak terkecuali
suami yang selalu berada di sampingku.
“Ayah
kalau bunda udah pergi jauh, jangan hapusya senyum ayah. Bunda akan
selalu menunggu senyum ayah itu. Tadi bunda kira tak ada senyum terindah
lagi selain senyum ibu. Ternyata senyum aya juga indah. Lebih dari
indah untuk bunda.
Ayah, perut bunda sakit bunda udah gak kuat lagi buat menahan sakit ini. Bantu bunda ya ayah buat nutup kelopak mata bunda.”
“Bunda jangan bebrbicara seperti itu. Bunda harus kuat.”
“Ayah lihat malaikat-malikat kecil jemput bunda. Bunda seneng ayah,
maafin bunda ya ayah. Bunda gak bisa kasih ayah buah hati. Bunda ingin
di saat kelopak mata ini tertutup ayah bahagia.”
Dengan terbata-bata ku rangkul tangan adik ku dan suamiku.
“Ayah buat bunda bahagia ya, bunda pengen kalian berdua bersama. Untuk
adik jaga suami kakak ya. Jangan hapus senyumnya. Buat ia tersenyum
untuk kakak, kakak titip bahagia kakak ya. Ayah , buat bunda senyum ya,
bunda yakin adik bisa beri ayah buah hati. Jangan bersedih lagi ya.
Bunda mau tidur dulu ya ayah jaga adik ya ayah” dalam hati seraya
berkata ‘Tuhan inikah akhir bahagia hambaMu. Kan ku tutup lembaran
cerita dengan sebuah senyuman. Senyuman terindah dalam masa-masaku’.
“subhanallah bunda. Tapi baiklah demi bunda apa pun itu akan ayah
lakukan. Bunda istirahat yang tenang ya. Mungkin ini juga jalan terbaik
untu bunda. Karena ayah juga tak rela jikalau bunda terus-menerus merasa
sakit. Selamat jalan bunda”
Sekejap mata pergi. Tak ada lagi nafas kehidupan. Tangis membuncah.
Satu
masa telah pergi. Satu masa kan menghampiri. Cerita baru kini menyapa.
Siap menyongsong sebuah bahagia. Meski pilu masih terasa. Tetap yakin
hati itu kan ada meski memamng wujudnya tak lagi menyapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar